Selamat Datang Di Website Resmi KUA Kec. Anggana Kab Kutai Kartanegara, Prop. Kalimantan Timur

Sabtu, 30 Oktober 2010

MENJADI HAJI MABRUR

Ibadah haji yang merupakan rukun Islam yang kelima sebagai totalitas ibadah yang mengintegrasikan antara ibadah badaniah (fisik) dan ibadah maliyah (harta), dan sebagai puncak rangkaian ibadah haji adalah melakukan wuquf di Arafah 9 zulhijah. Arafah adalah sebuah lembah yang terletak antara Muzadlifah dan Thaif, terbentang dari perbatasan kawasan arafah sampai jabal arafah, mulai arah timur berbentuk lingkaran, di tempat inilah calon jamaah haji berdiam sejak tergelincirnya mata hari ke arah barat sampai terbenam mata hari. Harapannya menjadi haji mabrur, ibadah haji yang terima Allah SWT.



Imam Al-Nawawi (w 676 H) telah menjelaskan bahwa ibadah haji yang mabrur adalah ibadah haji yang tidak tercampur sedikit pun oleh dosa. Karenanya, disamping amalan-amalan haji yang lazimnya disebut manasik harus dikerjakan dengan sempurna sesuai tuntunan Nabi saw. Untuk mencapai haji mabrur harus dipenuhi syarat-syarat dan etika haji sebagai berikut:


Pertama, uang yang digunakan untuk ongkos naik haji (ONH) harus benar-benar uang dari hasil usaha yang halal. Maksudnya adalah uang yang diperoleh dengan usaha atau cara-cara yang halal, tidak dicampuri dengan riba, sifat curang, bohong, menipu dan lain-lain yang merugikan pihak lain. Memperoleh uang dengan usaha atau cara-cara yang haram akan mendatangkan dosa, misalnya mencuri, merampok, menipu, korupsi, dan sebagainya. Oleh sebab itu, orang yang pergi haji dengan ONH hasil mencuri atau korupsi sama halnya dengan orang sholat dengan pakaian hasil mencuri, tentu ia berdosa. Orang yang mencuri, misalnya, ia tidak punya hak apa-apa atas harta hasil curiannya itu. Oleh karena, ia sama sekali tidak berhak menggunakan harta itu untuk keperluan apapun, termasuk untuk pergi haji.


Kedua, niat (motivasi) menjalankan ibadah haji itu hanyalah semata-mata karena memenuhi panggilan Allah, tidak untuk hal-hal yang lain, seperti ingin disebut Pak Haji atau Bu Haji dan sebagainya. Apabila seseorang yang pergi ke Makkah atau naik haji hanya ingin disebut sebagai seorang haji, maka sulit rasanya ia akan memperoleh haji yang mabrur, karena motivasi bukan karena Allah, atau tidak ikhlas. Untuk terwujudnya keikhlasan dalam beribadah haji, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, seseorang yang beribadah haji harus sudah merasa berkewajiban untuk menjalankan ibadah haji. Orang yang belum terkena kewajiban ibadah haji, dan memaksakan diri untuk pergi haji, sulit rasanya ia akan meraih haji mabrur. Orang yang pergi haji yang seperti ini biasanya ada faktor lain yang mendorongnya pergi haji, ada faktor lain itu bukan faktor lillah. Kedua, ia perlu menghayati makna-makna filosofis dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam semua amalan haji. ia perlu menghayati dan mempelajari sejarah dan hikmah-hikmah yang terkandung rangkaian ibadah haji seperti dalam ihram, tawaf, sa’i, wuquf di Arafah, melontar jamrah (jamrah) dengan batu kecil, (tahalul) mencukur rambut kepala, dan lain-lainnya.


Tanpa menghayati amalan-amalan itu, bisa jadi seorang haji tersebut akan mendapatkan kehampaan dalam menjalankan ibadah haji, bahkan boleh jadi ia mempertanyakan hal itu semua, sebab sebagai suatu ibadah, semua amalan itu tidak dapat dipahami maksudnya oleh manusia. Ia hanya dapat dihayati oleh perasaan manusia. Jika seseorang yang sedang beribaha haji tidak mendapatkan kesempatan untuk menghayati dan mempelajari sejarah dan hikmah-hikmah amalan-amalan tersebut, maka baginya cukuplah ia melakukan penyerahan totalitas dan loyalitas mutlak bahwa semua amalan ibadah haji yang dilakukan hanyalah semata-mata dalam rangka memenuhi perintah Allah, sekalipun ia tidak memahami arti dan maksud amalan-amalan tersebut.


Ketiga, memelihara etika haji. Pada saat mengerjakan manasik haji, seorang haji harus beretika haji, antara lain tidak boleh melakukan rafats (berhubungan seksual, berkata yang jorok, dan sebagainya), fusuq (bermaksiat), jidal (bertengkar, berkelahi), menodai kesucian Tanah Suci Makkah, dan sebagainya. Dalam menjalankan ibadah haji banyak sekali hal-hal yang diharamkan untuk dilakukan, bahkan sebagian larangan itu apabila dilanggar dapat berakibat ibadah haji menjadi batal, padahal larangan seperti itu di luar haji tidak ada. Hal ini tentulah mengandung hikmah dan pesan-pesan tertentu yang tidak selamanya dapat dipahami oleh setiap akal manusia, namun hanya dapat dihayati oleh perasaan jiwa manusia.


Sehubungan dengan kemabruran haji seseorang, tentu kita semua para calon jamaah haji dapat melakukan syarat dan etika ibadah haji. Semoga haji mabrur mennyertai kita. Amin. (aby)


Sumber Bimas Islam Kemenag RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar